EKSISTENSI DAN PENATAAN STATE AUXILIARY BODIES DALAM SISTEM KELEMBAGAAN NEGARA INDONESIA
Francois Venter mencatat, bahwa
karakteristik dasar sebuah Negara Konstitusional Modern, adalah adanya sebuah
konstitusi tertulis yang memiliki nilai hukum yang tinggi. Oleh karena itu,
konstitusi memiliki peran utama dalam suatu negara. Philipus M. Hadjon mengutip
pendapat John Alder dalam bukunya General
Principles of Constitutional and Administrative Law, bahwa “A Constitution is the set of most important
rules that regulate the relations among the defferent parts of the government
of a given country and also the relations between the different parts of the
government and the people of the country[1]. Berdasarkan hal
tersebut tampaklah betapa pentingnya konstitusi bagi bangunan ketatanegaraan
suatu negara. Karena konstitusi adalah dasar bagi peletakkan landasan pijak dan
arah ke mana negara akan dibawa.[2] Hans
Kelsen memberikan pengertian konstitusi dalam arti formal dan materil.
Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat norma
hukum yang hanya dapat diubah di bawah pengawasan ketentuan-ketentuan khusus,
yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan norma-norma ini lebih sulit.
Konstitusi dalam arti materil terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur
pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan
undang-undang.[3]
Selanjutnya Loewenstein, Friedrich dan
Herman Finer mengatakan bahwa konstitusi merupakan sarana pengendali kekuasaan
(in manner such power is to be exercised).
Oleh karena itu, penerapan konstitusi dapat dijadikan alat untuk melakukan
pembatasan terhadap kekuasaan.[4] Hal
inilah yang dikehendaki oleh prinsip konstitusionalisme. Menurut C.J Bax dan
G.F.M van der Tang konstitusionalisme mengandung tiga pengertian esensial
sebagai berikut[5] :
a.
A state, or any system of government, must be
founded upon law, while the power exercised within the state should conform to
definite legal rules and procedures (the idea of constitution or fundamental
law). (Sebuah negara atau sistem
pemerintahan apapun harus didirikan di atas undnag-undang, sedangkan kekuasaan
yang dijalankan di dalam negara harus sejalan dengan peraturan-peraturan dan
prosedur hukum yang tegas (yang mengacu kepada Konstitusi atau Undang-Undang
dasar).
b.
The institutional structure of government should
ensure that power resides with, or is divided among, different branches which
mutually control their exercise of power and which are obliged to co-operate
(the ideas of mixed government, separation of powers, check and balances). (Bangunan institusional pemerintah harus
memastikan bahwa kekuasaan berada ditangan atau dibagi-bagi diantara,
cabang-cabang yang berbeda yang saling mengontrol pelaksanaan kekuasaan mereka
dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (gagasan mengenai pemerintahan
campuran, pemisahan kekuasaan, sistem check
and balances).
c.
The relationship between the government and the
individual members of society should be regulated in such manner that it leaves
the letter’s basic right and freedoms unimpaired. (Hubungan antara pemerintah dengan anggota
perseorangan masyarakat sebaiknya diatur sedemikian rupa sehinggan hubungan
tersebut menjamin hak-hak dan kebebasan dasar yang tidak dilanggar.
Disamping itu, Maarseveen dan Van Der
Tang menyatakan bahwa “Constitution is
the basic collection of rules establishing the principal institutions of state.”
Selanjutnya kedua penulis tersebut menyatakan “Constitution regulates the most important of the state’s institutions,
their powers and their mutual relations.”[6]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya konstitusi sebagai hukum
tertinggi mengatur tentang kekuasaan dan pembatasan kekuasaan
(konstitusionalisme), dimana kekuasaan[7]
yang diatur oleh konstitusi pada dasarnya terbagi atas kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan yang diatur oleh
konstitusi diwujudkan dalam bentuk organ/institusi/organisasi negara atau yang
dalam penulisan ini menggunakan istilah lembaga negara[8].
Eric Barendt dalam bukunya An Introduction Constitutional Law
menyatakan bahwa The constitution of a
state is the written document or text which outlines the powers of its
parliament, government, court and other important national institution.[9]
Oleh karena itu “Other important national
institution” juga menjadi hal yang penting yang harus diatur dalam
konstitusi. Tidak hanya lembaga negara dalam penjelmaan trias politica tetapi
juga lembaga negara yang dianggap penting berdasarkan kebutuhan dan ciri khas[10]
suatu negara.
Philipus M. Hadjon dalam satu tulisannya,
mengawali pembahasan dengan mengutip tulisan D.H. Meuwissen, bahwa Hukum tata
Negara (klasik) lazimnya mengenai dua pilar, yaitu organisasi negara dan warga
negara. Dalam organisasi negara diatur bentuk negara dan atau alat perlengkapan
negara. Alat perlengkapan negara, Lord James Brys menjelaskan dalam bukunya
yang berjudul “Studies in History and
Jurisprudence” sebagaimana dikutip Sri Soemantri, bahwa “Constitution is a frame of political
society, organized through and by law, one in which law has established
permanent institutions, which recognised functions and definite rights.”
Dari rumusan tersebut, maka dapatlah disimpulkan dalam konstitusi diatur
lembaga-lembaga yang permanen (permanent
institutions) yang mempunyai fungsi, yaitu fungsi legislatif, fungsi
eksekutif, dan fungsi yudisial.[11] Dalam
kaitan dengan penyelenggaraan negara, maka negara harus memiliki otoritas atau
kekuasaan tertinggi untuk membentuk dan melaksanakan undang-undang. Otoritas
atau kekuasaan tertinggi ini disebut dengan Pemerintah. Pemerintah merupakan
alat kelengkapan negara; suatu negara tidak dapat eksis tanpa adanya
pemerintah, karena “pemerintah pada hakikatnya adalah suatu kekuasaan yang
terorganisir.” Oleh karena itu, pemerintah adalah suatu organisasi yang diberi
hak untuk melaksanakan kekuasaan kedaulatan. Dalam pengertian yang luas,
pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanaan di dalam
dan di luar negara. Demi mengemban tugas maka negara harus memiliki tiga
kekuasaan dalam pemerintahan. Ketiga kekuasaan pemerintah semuanya berperan
dalam pelaksanaan kedaulatan sebuah negara modern.[12]
Dalam kaitannya dengan kedaulatan, maka
kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme
kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan
berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat
biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan
kekuasaan atau pembagian kekuasaan. Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal
dalam arti kekuasaan dipisah-pisah ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Sedangkan
pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi
negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Prinsip anutan paham
pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan ini penting untuk diernihkan
karena pilihan diantara keduanya akan sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan
negara secara keseluruhan, terutama dalam hubungannya dengan penerapan prinsip
‘checks and balances’ antara
lembaga-lembaga tinggi negara.[13] Menurut
Philupius M. Hadjon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu: Pertama, kedudukan
diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan
lembaga negara yang lain. Kedua, kedudukan
lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya.[14]
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, maka pada hakikatnya tersirat pengklasifikasian antara
lembaga negara. Lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau
kewenangannya diberikan oleh UUD dapat disebut sebagai lembaga negara utama
sedangkan lembaga negara yang berfungsi juga dalam penyelenggaraan negara
tetapi dikatakan sebagai lembaga negara penunjang. Namun meski dapat dikatakan
demikian, tetapi tidak sesederhana dalam mengidentifikasi lembaga-lembaga
negara tersebut.
Selanjutnya, untuk mencoba memahami
konsep lembaga negara dengan pendekatan perbandingan, selanjutnya Philipus M.
Hadjon memberikan contoh konsep jerman. Konstitusi Jerman membedakan State Organ dengan Constitutional Organ. Constitutional
Organ hanyalah menyangkut lembaga-lembaga (organ) yang status kewenangannya
langsung diatur oleh konstitusi. Dalam ketatanegaraan Jerman, Constitutional Organ tertinggi adalah Bundestag sebagai organ uang dipilih
oleh rakyat. Adapun State Organ
adalah lembaga-lembaga dalam negara Jerman yang dianggap bertindak atas nama
negara Jerman.[15]
Secara garis besar, UUDNRI tahun 1945
mengenal lembaga negara[16]
yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK, serta lembaga tambahan lain
yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini diklasifikasikan
berdasarkan kewenagan konstitusional yang dimilikinya. Kewenangan
konstitusional lembaga negara adalah kewenangan-kewenangan yang ditentukan oleh
atau dalam UUD berkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur
dalam UUD 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan ataupun fungsi-fungsi
kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945, akan nampak jelas bahwa organ-organ yang
menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional dimaksud sangat beragam. State Institutions atau Staatsorgan dapat dibedakan dari
organisasi civil society atau badan
usaha dan badan hukum lainnya yang bersifat perdata. Oleh karena itu,
institusi, organ atau organisasi lain yang berada di luar kategori organisasi civil society dan organisasi yang
bergerak di lingkungan dunia usaha tersebut, dapat kita sebut sebagai organ
negara dalam arti luas. Hal yang membedakan organ atau lembaga-lembaga negara
dalam pengertian yang luas tersebut satu sama lainnya, hanyalah kategori
fungsinya apabila dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara atan kategori
sumber legalitas kewenangan yang dimilikinya apakah bersumber dari UUD, dari UU
atau dari ketentuan peraturan yang lebih rendah kedudukannya daripada UU.[17] Lembaga
negara selain yang memiliki kewenangan konstitusional ini kemudian dapat
dikategorikan sebagai lembaga negara penunjang sesuai kapasitas legalitasnya
yang berasal dari UU atau peraturan di bawah UU.
Berdasarkan uraian panjang di atas, maka
selanjutnya pembahasan dalam penulisan ini akan difokuskan kepada eksistensi
lembaga negara penunjang dan penataan kelembagaannya. Dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara
dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudisial yang tercermin dalam
fungsi-fungsi MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta mahkamah Agung
(MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai
lembaga-lembaga negara utama (main state
organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah
yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan
negara yang utama yang hubungannnya satu sama lain diikat oleh prinsip checks and balances. Di samping
lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai
lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur
adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti
Komisi Yudisial (KY), Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank
Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya.
Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan
sendirinya mengakibatkan lembaga-lemabaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945
tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus di pahami dalam pengertian lembaga
(tinggi) negara sebagai lembaga utama. Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga
negara tidaklah menjalankan salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana
yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara
ini hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan
lembaga-lembaga negara utama sebagaiamana disebutkan di atas, yang dalam
ketatanegaraan disebut dengan state
auxiliary bodies (lembaga negara yang melayani) atau lebih dikenal sebagai
lembaga negara bantu/penunjang. Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut
Sri Sumantri M, secara nasional state
auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan
tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam
UUD juga tidak boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan
derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan[18] :
sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian negara dan kewenangan
konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUDNRI Tahun 1945 dibandingkan dengan tidak
diaturnya dama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD, tidaklah
dapat diartikan bahwa UUD memandang Kepolisian negara itu lebih penting ataupun
lebih tinggi kedudukan konstitusionalnya dari pada Kejaksaan Agung. Demikian
pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti KY yang diatur sevcara umum
dalam UUD, komnas HAM, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain
yang dibentuk berdasarkan UU belaka, untuk menentukan status hukum
kelembagaannya maupun para anggota dan pimpinannya dibidang protokoler dan
lain-lain sebagainya, tergantung kepada bentuk UU yang mengaturnya. Oleh karena
itu, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lemabag negara,
pembentuk UU harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang
terperinci dan jelas dalam UU yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud.[19]
Terkait
penataan kelambagaan hukum, sebagai tindak lanjut dari pembaruan konstitusional
pasca amandemen UUD 1945, maka di sektor negara dan pemerintahan, telah terjadi
upaya penataan yang mencakup kelembagaan di ranah legislatif, eksekutif dan
judisial dan bahkan di wilayah-wilayah campuran atau yang disebut dengan badan-badan
independen. Namun sekarang, telah bermunculan banyak lembaga independen,
misalnya Komisi Nasional HAM, komisi Pemeriksa Kekayaan penyelenggaraa Negara,
Kompisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Ombudsman, Komisi Penyiaran
Indonesia, dan sebagainya. Semua badan-bdan ini perlu dikonsolidasikan,
sehingga tidak berkembang tanpa arah yang jelas.[20]
Berdasarkan uraian tersebut maka pada dasarnya dikehendaki adanya penataan
kelembagaan terhadap state auxiliary
bodies atau lembaga negara penunjang. Jika dalam UUD 1945 hanya menentukan
satu lembaga yang termasuk auxiliary body, tetapi di luar UUD berkembang auxiliary body tanpa kendali.
Berdasarkan pendapat Asimov, komisi negara dapat dibedakan dalam dua kategori; Pertama, komisi negara independen yaitu
organ negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luat cabang
kekuasaan eksekuti, legislatif maupun yudisial; namun justru mempunyai fungsi
campur sari ketiganya; Kedua, komisi
negara biasa (state comissions), yaitu
komisi negara yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak
mempunyai peran yang terlalu penting. Di Indonesia saat ini sudah lebih dari 50
lembaga negara bantu terbentuk. Dengan perincian komisi negara independen
sekitar 13 dan komisi negara eksekutif jumlahnya sekitar 40 komisi, berikut[21] :
Tabel
1.1 Komisi negara Independen
No.
|
Komisi
|
Dasar
Hukum
|
1
|
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan
|
Keppres No. 181/1998
|
2
|
Komisi Pengawas Persaingan usaha
|
UU No. 5/1999
|
3
|
Dewan Pers
|
UU No. 40/1999
|
4
|
Komisi Nasional Hak Asas Manusia
|
Keppres 48/2001-UU no 39/1999
|
5
|
Komisi Ombudsman Nasional
|
Keppres No. 44/2000
|
6
|
Komisi Tindak Pidana Korupsi
|
UU No. 30/2002
|
7
|
Komisi Penyiaran Indonesia
|
UU No. 32/2002
|
8
|
Komisi Perlindungan Anak
|
UU No. 23/2002 dan keppres No. 77/2003
|
9
|
Dewan Pendidikan
|
UU No. 20/2003
|
10
|
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan
|
Keppres No. 18/2003
|
11
|
Komisi Pemilihan Umum
|
Pasal 22E UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 12/2003
|
12
|
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
|
UU No. 27/2004
|
13
|
Komisi Yudisial
|
Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 22/2004
|
Tabel
1.2 Komisi Negara Eksekutif
No.
|
Komisi
|
Dasar
Hukum
|
1
|
Komisi Hukum Nasional
|
Keppres No. 15/2000
|
2
|
Komisi Kepolisian
|
UU No. 2/2002
|
3
|
Komisi Kejaksaan
|
UU No. 16/2004 dan Perpress No. 18/2005
|
4
|
Dewan Pembina Industri Strategis
|
Keppres No. 40/1999
|
5
|
Dewan Riset Nasional
|
Keppres No.94/1999
|
6
|
Dewan Buku Nasional
|
Keppres No. 110/1999
|
7
|
Dewan Maritim Indonesia
|
Keppres No. 161/1999
|
8
|
Dewan Ekonomi Nasional
|
Keppres No. 144/1999
|
9
|
Dewan Pengemban Usaha Nasional
|
Keppres No. 165/1999
|
10
|
Komite Nasional Keselamatan Transportasi
|
UU No. 41/1999 dan Keppres No. 105/1999
|
11
|
Komite Antar-Departemen Bidang Kehutanan
|
Keppres No. 80/2000
|
12
|
Komite Akreditasi Nasional
|
Keppres No. 78/2001
|
13
|
Komite Penilaian Independen
|
Keppres No. 99/1999
|
14
|
Komite Olahraga Nasional Indonesia
|
Keppres No. 72/2001
|
15
|
Komite Kebijakan Sektor Keuangan
|
Keppres No. 89/1999
|
16
|
Komite Standar nasional untuk Satuan Ukuran
|
PP No. 102/2000
|
17
|
Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak
|
Keppres No. 12/2000
|
18
|
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
|
Keppres No. 54/2005
|
19
|
Dewan Gula Nasional
|
Keppres No. 23/2003
|
20
|
Dewan Ketahanan Nasional
|
Keppres No. 132/2001
|
21
|
Dewan Pengemban Kawasan Timur Indonesia
|
Keppres No. 44/2002
|
22
|
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
|
Keppres No. 151/2000
|
23
|
Dewan Pertahanan Nasional
|
UU No. 3/2001
|
24
|
Badan Narkotika Nasional
|
Keppres No. 17/2002
|
25
|
Bakornas Penanggulangan Bencana dan Pengungsi
|
Keppres No. 3/2001 jo. Keppres No. 111/2001
|
26
|
Badan Pengemban Kapet
|
Keppres No. 150/2002
|
27
|
Bakor Pengembangan TKI
|
Keppres No. 29/1999
|
28
|
Bdan Pengelola Gelora Bung Karno
|
Keppres No. 72/1999
|
29
|
Badan Pengelola Kawasan Kemayoran
|
Keppres No. 73/1999
|
30
|
Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD Dan Kep. Nias Sumatera Utara
|
Perpu No. 3/2005
|
31
|
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
|
PP No. 23/2004
|
32
|
Badan Pengatur Jalan Tol
|
PP No. 15/2005
|
33
|
Adan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum
|
PP No. 16/2005
|
34
|
Lembaga Koordinasi Dan Pengendalian Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
|
Keppres No. 83/1999
|
35
|
Lembaga Sensor Film
|
PP No. 8/2994
|
36
|
Korsil Kedokteran Indonesia
|
UU No. 29/2004
|
37
|
Badan Pengelola Puspitek
|
Keppres No. 43/1976
|
38
|
Badan Pengemban Kehidupan Bernegara
|
Keppres No. 85/1999
|
Berdasarkan
tabel dengan data hingga 2005 di atas, telah memperlihatkan banyaknya komisi
atau lembaga penunjang. Pada dasarnya menurut Sri Sumantri[22] :
bahwa untuk memahami perkembangan auxiliary
body perlu diketahui terlebih dahulu tujuan didirikannya suatu negara setelah
itu baru ditetapkan berbagai lembaga negara dalam undang-undang dasarnya. Sehingga
demi menghindari penggemukan yang lebih berkelanjutan maka harus dilakukan
penataan kelambagaan ini. Hal ini dapat dimulai dengan langkah preventif dan
represif. Langkah preventif yang dimaksudkan adalah mempersulit pembentukan
lembaga yang harus diukur dari urgensi keberadaan dan peranannya dalam penyelenggaran
negara. Sedangkan langkah represif yang dapat diambil jika memang telah terjadi
penggemukan organ negara maka menurut hemat penulis, lembaga-lembaga yang
memiliki tujuan atau bidang yang sama hendaklah dilebur. Namun titik berat yang
harus diperhatikan adalah dalam pembentukan lembaga, harus memperhatikan
lembaga yang sudah ada, sehingga jika suatu fungsi dianggap penting dan perlu
maka pada lembaga yang telah ada yang memiliki bidang yang sama dilakukan penambahan
tugas dan fungsinya saja bukan pembentukan organ baru jika dalam satu tujuan
atau bidang yang sama. Hal ini dapat diwujudkan jika terjadi pemahaman yang
baik dan pertimbangan yang matang dari pemerintah itu sendiri sebagai pelaksana
penyelenggaraan negara.
Dalam negara yang menganut sistem
pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presidenlah yang pertama
mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah
tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional negara.
Kedudukan dan peranan lembaga negara utama dan
lembaga-lembaga yang melayani adalah permanent institutions, sedangkan lembaga-lembaga
yang melayani (State Auxiliary Bodies)
dapat tumbuh, berkembang, dan mungkin dihapus. Hal ini tergantung dari situasi
dan kondisi negara itu. Hal yang perlu diperhatikan ialah agar pemerintah dalam
hal ini Presiden dalam membentuk State
Auxiliary Body harus memperhatikan lembaga yang sudah ada.[23]
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005
Asshiddiqie,
Jimly, Konstitusi dan Konstitusinalisme
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Asshiddiqie,
Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid I, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006
Chaidir,
Ellydar, Hukum dan Teori Konstitusi,
Kreasi Total Media Yogyakarta, Yogyakarta, 2007
Kelsen,
Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
Cet. V, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010
Ranadireksa,
Hendarmin, Arsitektur Konstitusi
Demokratik; Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Fokusmedia,
Bandung, 2007
Strong,
C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik
Modern; Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Cet. I,
(terjemahan SPA Teamwork), Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung,
2004
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2010
[1] Hal ini dikenal sebagai prinsip
konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) dimana konstitusionalisme mengatur
dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lainnya, yakni hubungan antara
pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang
satu dengan yang lainnya (maka
pengaturan dalam hubungannya juga sekaligus memberikan batasannya).
[2] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 85.
[3] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
Cet. V, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, h.
180.
[4] Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Kreasi Total
Media Yogyakarta, Yogyakarta, 2007, h. 38.
[5] Ibid, h. 17.
[6] Dikutip dari paper persentation
kuliah, Sukardi, Konstitusi dan
Lembaga-Lembaga Negara.
[7] Biasa dikenal dengan trias politica, yaitu
pemisahan kekuasaan negara menjadi 3 cabang kekuasaan utama. Dalam buku
Arsitektur Konstitusi Demokratik oleh Hendarmin Ranadireksa menuliskan bahwa
berdasarkan trias politica, maka lembaga negara dapat dibedakan menjadi lembaga
politik dan lembaga karir. Lembaga politik adalah lembaga yang dalam kaitannya
dengan pelaksanaan pengelolaan negara adalah lembaga yang berurusan dengan kebijakan
publik. Negara demokrasi membatasi lembaga politik hanya, dan hanya, pada dua
lembaga yakni lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Sedangkan lembaga karir
adalah lembaga non politik, bebas dan harus bebas, dari pengaruh politik.
Dinamika, gejolak sampaipun kemelut politik yang terjadi di wilayah politik,
tidak harus mempengaruhi kinerja lembaga karir.
[8] Istilah Lembaga negara meski
tidak diberikan definisi tetapi secara eksplisit istilah ini dapat dilihat
dalam Pasal 24C Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 bahwa salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD.
[9] Ellydar Chaidir, Op.Cit., h. 33
[10] Misalnya di Indonesia terdapat
MPR yang bersifat khas Indonesia
[11] Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., h. 175-176.
[12] C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian
tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Cet. I, (terjemahan SPA
Teamwork), Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, h. 10
[13] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 10-11.
[14] Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., h. 176.
[15] Ibid. H. 177
[16] Jika meminjam istilah di Jerman,
maka ini disebut sebagai Constitutional
Organ.
[17] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat
Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 336-338.
[18] Berdasar pendapat MK dalam
putusannya tersebut maka dapat digunakan sebagai catatan tambahan terkait
dengan diskusi perkuliah Hukum Konstitusi oleh Bpk. Radian Salman tanggal 13
Mei 2013, tentang apakah lembaga negara yang disebut dan diatur kewenangannya
dalam konstitusi berakibat pada kedudukan tertentu lembaga negara secara
hierarkhis. Meskipun pada kenyataannya tidak sesuai (seperti protokoler yang
berbeda) namun penulis melihat bahwa niatannya berujung kepada kesederajatan
secara fungsional yang sama-sama memiliki fungsi dan peranan penting dalam
mewujudkan tujuan nasional tetapi berdasarkan porporsionalitasnya
masing-masing.
[19] Titik Triwulan Tutik. Op.Cit., h. 178-180.
[20] Jimly Asshiddiqie., Konstitusi dan Konstitusinalisme Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, h. 309.
[21] Titik Triwulan Tutik. Loc.Cit., h. 180.
[22] Ibid, h. 183
[23] Ibid, h. 184.