KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 92/PUU-X/2012
Oleh :
Dian Utami Mas Bakar[1]
Latar Belakang
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945)
pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, berdasarkan Pancasila
maka dianut pula prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan. Sehingga untuk melaksanakan kedaulatan
rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat dan
lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi
serta dapat menyerap dan memperjuangakan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan
daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara.[2]
Gagasan
kedaulatan rakyat dapat disalurkan secara langsung maupun secara tidak
langsung. Dalam masyarakat yang masih sederhana, demokrasi diselenggarakan
secara langsung seperti yang dipraktikkan di masa Yunani Kuno dalam konsep ”city state” atau negara kota. Akan
tetapi, dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan dengan jumlah
penduduk yang sangat besar dan wilayahnya yang luas, demokrasi atau kedaulatan
rakyat tidak mungkin diselenggarakan hanya secara langsung saja. Oleh karena
itu umat manusia menciptakan lembaga perwakilan rakyat yang biasa disebut
dengan lembaga legislatif atau parlemen.[3]
Lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai macam istilah sesuai dengan bahasa
yang dipakai di setiap negara. Bentuk, susunan, kedudukan dan kewenanganpun
beraneka ragam sesuai dengan perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara
umum, lembaga perwakilan rakyat itu pada mulanya dipandang sebagai representasi
mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan.
Apa yang diputuskan parlemen dianggap sebagai keputusan rakyat yang berdaulat.
Sehingga lahirlah doktrin supremasi parlemen atau “The principle of supremacy of parliament”.[4] Amandemen UUD
1945 dilakukan sebanyak 4 tahap pada periode 1999-2002. Amandemen UUD 1945 ini
pun akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga perwakilan di Indonesia.
Sehingga pada era reformasi, terjadi masa transisi menuju Indonesia baru dengan
sistem ketatanegaraan yang sama sekali berubah secara fundamental dari sistem
ketatanegaraan sebelumnya berdasarkan UUD 1945 yang asli. Salah satu gagasan
fundamental yang sudah diadopsi yaitu anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala
implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) yang berlaku
sebelumnya dalam sistematika UUD 1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5
ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di
tangan Presiden dan dilakukan dengan persetujuan DPR, maka dalam perubahan
pertama dan kedua UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk UU itu
ditegaskan berada ditangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1)
yang baru ditentukan hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR. Perubahan ini
menegaskan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR,
dengan konsekuensi berubah pula pengertian kita tentang anutan prinsip
pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama ini.[5]
Anutan
prinsip pemisahan kekuasaan merupakan salah satu cara untuk menjaga agar
kekuasaan yang diberikan oleh rakyat tidak disalahgunakan. Gagasan pemisahan
kekuasaan telah muncul dalam karya Aristoteles dalam buku “Politics.” Kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu Pertama, kekuasaan mengadakan
peraturan-peraturan dalam garis besar, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk bertingkahlaku
sesuai dengan peraturan legislatif. Ketiga,
apakah kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan peraturan-peraturan legislatif
tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya, kekuasaan ini
disebut dengan kekuasaan yudikatif. Teori pemisahan kekuasaan juga dikemukakan
oleh John Locke dalam Two Treaties of
Government. Menurut John Locke, kekuasaan yang pertama adalah kekuasaan
legislatif yang berhak mengarahkan kekuasaan persekutuan yang akan digunakan
untuk kelestarian masyarakat dan para anggotanya. Lembaga ini tidak perlu
senantiasa ada. Hukum dapat dibuat dalam waktu yang singkat dan kemudian bubar.
Jika lembaga ini selalu ada, akan cenderung untuk menggapai kekuasaan. Hukum
yang dibuat dalam waktu singkat tersebut mempunyai kekuatan yang tetap dan
langgeng. Hukum memerlukan penerapan berkelanjutan atau memerlukan pelaksanaan.
Maka perlu suatu kekuatan yang bertugas untuk melaksanakan hukum agar tetap
tegak, yaitu kekuasaan eksekutif yang terpisah dari kekuasaan legislatif.
Selain itu diperlukan kekuasaan yang bersifat alami dan sesuai dengan
kecenderungan alami manusia. Kekuasaan ini bertugas untuk menyelesaikan perselisihan
antar anggota masyarakat dan dengan masyarakat lain, atau kekuasaan yang
mengurusi masalah perdamaian dan perang, yaitu kekuasaan federatif, diluar
kekuasaan legislatif dan eksekutif.[6]
Teori
pemisahan kekuasaan yang lain, yang juga menjadi acuan dari penyelenggaraan
negara demokrasi modern, terutama Amerika Serikat, adalah teori Montesquieu.
Kekuasaan dibagi menjadi tiga (trias
politica), yaitu kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan
menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan
mengadili. Argumentasi perlunya pembagian kekuasaan menurut Montesquieu (De l’esprit des lois atau The Spirit of Law, Bab ke-67) adalah
sebagai berikut:[7]
“Apabila kekuasaan legislatif dan
eksekutif disatukan pada tangan yang sama ataupun pada badan penguasa-penguasa
yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan.. Juga, tidak akan bisa
ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apabila Kekuasaan mengadili ini digabungkan
pada kekuasaan legislatif, kehidupan dan kemerdekaan kawula negara akan
dikuasai oleh pengawasan suka hati, oleh sebab hakim akan menjadi orang yang
membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan
kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan
penindasan. Akan berakhir pulalah segala-galanya apabila orang-orang itu juga,
ataupun badan yang itu juga 9apakah badan ini terdiri dari orang-orang bagsawan
atau rakyat banyak) yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu..”
Perubahan
sistem kelembagaan pasca amandemen UUD 1945 menghasilkan sebuah lembaga baru
yaitu Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disingkat DPD). Terdapat dua gagasan
dibalik kelahiran DPD. Pertama,
gagasan mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar[8] (bikameral).
DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR) digambarkan serupa
dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan Negara bagian
(di Indonesia dilihat bentuknya seperti lembaga DPD), dan House of Representatives sebagai perwakilan seluruh rakyat (di
Indonesia dilihat bentuknya seperti lembaga DPR). Di Amerika Serikat, kedua
unsur perwakilan tersebut dinamakan Congress (di Indonesia
dilihat bentuknya seperti lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR).
Sistem parleman bikameral diperlukan untuk mencegah kesalahan legislasi yang
dilakukan oleh satu kamar, untuk menciptakan prinsip saling mengontrol dalam
parlemen, dan agar kebijakan atau keputusan yang dibuat memperoleh dukungan
mayoritas (supermajority) sehingga
lebih dapat diterima dan stabil.[9] Kedua, gagasan untuk meningkatakan
keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD
merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya
politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat pula dipandang
sebagai koreksi
atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan
Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan.[10]
Kehadiran
DPD yang kemudian merubah sistem perwakilan menjadi dua kamar tetap
mempertahankan keberadaan MPR untuk menyebut nama rumah parlemen yang terdiri
atas dua kamar itu. Dalam kaitan dengan checks and balances pula
sehingga diajukan gagasan perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR
yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan) menjadi
parlemen sistem bikameral (dua kamar) yang terajut dalam hubungan checks
and balances dengan lembaga negara lainnya. Gagasan ini menghendaki agar
parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga
perwakilan teritorial yakni DPD. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
semula kedua lembaga ini digagas dengan fungsi seperti parlemen yang memiliki
DPR dan Senat yang mempunyai fungsi legislasi dan fungsi-fungsi parlemen
lainnya seperti fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Namun pada praktek
ketatanegaraan, DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam UUD 1945.
Keberadaan DPD dianggap sebagai aksesori demokrasi dalam sistem perwakilan[11].
Dalam hal
ini, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (selanjutnya disingkat UU MD3), terdapat beberapa pasal yang dianggap mereduksi
kewenangan DPD. Seperti ketentuan yang secara eskplisit menghentikan area
kewenangan bagi DPD untuk bisa terlibat dalam akses pengambilan keputusan
membentuk undang-undang. Kalaupun dilibatkan, statusnya hanya terbatas pada
kewenangan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) yang
dianggap tidak mendapat perlakuan yang setara dengan RUU dari Presiden dan DPR,
keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (selanjutnya
disebut Prolegnas) yang tidak disetarakan dengan keterlibatan Presiden dan DPR,
dan terkait kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan
dalam Pasal 22D UUDNRI 1945. Sehingga, kewenangan DPD dianggap semakin direduksi
melalui UU MD3. Disisi lain,
DPR memiliki fungsi
legislasi yang penuh. Pasal 20
ayat (1) UUDNRI 1945 menegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-undang berada
di tangan DPR. Kewenangan DPR terkait legislasi baik dimulai dari tahap
perancangan, pembahasan, persetujuan dan pengambilan keputusan. Kondisi seperti
ini dianggap tidak sesuai dengan mandat Pasal 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR yang sama-sama dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, sehingga sama-sama mempunyai
legitimasi yang kuat dari rakyat. Sehingga dengan sistem atau struktur
bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan
sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh
rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR
merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan
DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional
representation).
Oleh
karena itu, DPD mengajukan gugatan Pengujian UU MD3 yang dianggap telah
mereduksi kewenangan DPD sehingga tidak sesuai dengan nafas UUDNRI 1945.
Gugatan kepada Mahkamah Konstitusi tersebut berdasarkan Perkara Nomor
92/PUU-X/2012 telah diputus pada Februari 2013 lalu. Amar putusan mengabulkan
permohonan untuk sebagian, sehingga hal ini memberikan pergeseran terhadap
fungsi legislasi DPD. Berdasarkan latar belakang tersebut maka menarik untuk
membahas perkembangan mengenai fungsi legislasi DPD pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
Pembahasan
Ketentuan UUDNRI 1945
mengatur keberadaan lembaga DPD di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia
antara lain dimaksudkan guna memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI
dan memperkokoh persatuan kebangsaan seluruh wilayah nusantara, meningkatkan
agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan
kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah, serta mendorong
percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah serta serasi dan
seimbang. Keberadaan DPD diharapkan dapat menjembatani kepentingan pusat dan
daerah, serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah dalam kebijakan
nasional. Selain itu keberadaan DPD diharapkan dapat memperkuat sistim parlemen
yang pada gilirannya dapat memperkuat demokrasi.[12]
Landasan konstitusional kekuasaan
DPD diatur dalam Pasal 22D UUDNRI 1945. Selanjutnya kewenangan DPD diatur dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU MD3). Selain itu sehubungan dengan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD
maka kewenangannya diatur pula dalam Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Menurut UU MD3, DPD RI dapat mengajukan usul suatu RUU ke
DPR. Apabila suatu RUU disetujui atau disetujui dengan perubahan, RUU tersebut
akan menjadi rancangan undang-undang usul DPR. Selanjutnya, terhadap RUU usul
DPD RI yag telah diadopsi menjadi RUU usul DPR RI, pimpinan DPR RI akan meminta
kepada pimpinan DPD RI untuk menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas RUU
tersebut di DPR. Pembahasan atas sebuah RUU di DPR dilakukan dalam dua tingkat
pembicaraan. Pembicaraan tingkat satu dilaksanakan dalam rapat komisi, rapat
gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat
panitia khusus. Sementara itu, pembicaraan tingkat dua dilakukan dalam rapat
paripurna yang merupakan forum pengambilan keputusan. Dari kedua tingkat
pembicaraan tersebut, DPD RI hanya dapat mengambil peran pada pembicaraan
tingkat pertama. Hal tersebut juga hanya dilakukan dalam bentuk penyampaian
pendapat mini yang disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat satu. Ada atau
tidak adanya pendapat mini dari DPD RI terhadap sebuah RUU tidak menyebabkan
terhentinya atau tidak sahnya pembicaraan tingkat satu sehingga pembahasan
terhadap sebuah RUU dapat dilanjutkan pada tingkat dua.[13]
Namun, kewenangan DPD
berdasarkan UU MD3 dan UU P3 dianggap telah direduksi dari maksud UUD. Sehingga
melalui instrumen constitutional review,
DPD mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, DPD selaku Pemohon memohon agar MK
melakukan pengujian terhadap:
a.
UU MD3, yaitu
Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1)
huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144,
Pasal 146 ayat (1), dan 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal
150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 154 ayat (5); dan
b. UU P3, yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1),
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43
ayat (1) dan ayat (2), 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat
(3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3),
ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat
(3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) .
Selanjutnya dalam permohonannya, DPD selaku Pemohon menyatakan mendapatkan
kerugian kewenangan konstitusional di bidang legislasi untuk “Dapat Mengajukan
Rancangan Undang-Undang” yang diberikan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 dan
kewenangan konstitusional untuk “Ikut Membahas Rancangan Undang-Undang” yang
diberikan oleh Pasal 22D ayat (2) juncto Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Dalam legal standing pemohon
diuraikan kerugian konstitusional yang didalilkan sebagai berikut :[14]
v Bahwa Pemohon sebagai lembaga negara, secara konstitusional telah dirugikan
pemenuhan kewenangan konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati
hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena:
a. Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4)
UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi Pemohon menjadi setara dengan
kewenangan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR;
b. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis mengurangi
kewenangan Pemohon sejak awal proses pengajuan Rancangan Undang-Undang;
c. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 telah mendistorsi Rancangan
Undang-Undang Pemohon menjadi Rancangan Undang-Undang Usul DPR;
d. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 telah meniadakan kewenangan Pemohon
untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang baik di dalam maupun di luar
Program Legislasi Nasional;
e. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan
kedudukan Pemohon menjadi lembaga yang sub-ordinat di bawah DPR karena
meniadakan kewenangan konstitusional Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan
Undang-Undang;
f. Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU P3 tidak mengikutsertakan Pemohon dalam
seluruh proses pembahasan Rancangan Undang-Undang yang menjadi kewenangan
konstitusional Pemohon;
g. Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dan Pasal 107 ayat
(1) huruf c UU MD3 dan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 telah mereduksi
kewenangan konstitusional Pemohon untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan
sebagai produk dari mekanisme ikut membahas suatu Rancangan Undang-Undang yang
terkait dengan kewenangannya; dan
h. Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah meniadakan
kewenangan Pemohon dalam pengajuan dan pembahasan Daftar Inventaris Masalah
yang justru merupakan ”inti” dari pembahasan rancangan undang-undang;
i.
Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta
Pasal 68 ayat (5) UU P3 telah mereduksi kewenangan Pemohon dengan mengatur bahwa
pembahasan Rancangan Undang-Undang tetap dilaksanakan meski tanpa keterlibatan
Pemohon;
j.
Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a
dan huruf b UU MD3, serta Pasal 68 ayat (2) huruf c dan d, dan ayat (4) huruf a
dan Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b, serta ayat (3) UU P3 merugikan kewenangan
Pemohon karena setiap Rancangan Undang-Undang sepanjang yang berkaitan dengan
Rancangan Undang-Undang kewenangan Pemohon seharusnya dibahas oleh DPR yang
diwakili oleh alat kelengkapan DPR in casu bukan fraksi, Presiden yang
diwakili oleh menteri yang ditunjuk, dan Pemohon yang diwakili oleh alat kelengkapan
Pemohon.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah,
terdapat lima pokok persoalan konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon,
yaitu:[15]
1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D
ayat (1) UUD 1945, yang menurut Pemohon, RUU dari DPD harus diperlakukan setara
dengan RUU dari Presiden dan DPR;
2.
Kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebutkan dalam
Pasal 22D UUD 1945 bersama DPR dan Presiden;
3.
Kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang
disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945;
4.
Keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas yang
menurut Pemohon sama halnya dengan keterlibatan Presiden dan DPR;
5. Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan dalam
Pasal 22D UUD 1945;
Selanjutnya, pada amar putusan Mahkamah
Konstitusi menyatakan sebagai berikut:[16]
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu:
1.1 Pasal 102 ayat (1):
1) huruf a sepanjang frasa “dengan mempertimbangkan masukan dari DPD”;
2) huruf d sepanjang frasa “...atau DPD”;
3) huruf e sepanjang frasa “...atau DPD”;
4) huruf h;
1.2. Pasal 147;
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.3. Pasal 102 ayat (1):
1) huruf a sepanjang frasa “dengan mempertimbangkan masukan dari DPD”;
2) huruf d sepanjang frasa “...atau DPD”;
3) huruf e sepanjang frasa “...atau DPD”;
4) huruf h;
1.4. Pasal 147;
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
1.5. Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata “DPD”;
1.6. Pasal 43 ayat (2);
1.7. Pasal 45 ayat (1) sepanjang frasa “... kepada
DPR”;
1.8. Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa “... atau
DPD”;
1.9. Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
1.10. Pasal 65 ayat (3);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.11. Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata “DPD”;
1.12. Pasal 43 ayat (2);
1.13. Pasal 45 ayat (1) sepanjang frasa “... kepada
DPR”;
1.14. Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa “...
atau DPD”;
1.15. Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
1.16. Pasal 65 ayat (3);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
1.17. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043),
yaitu:
1.17.1. Pasal 143 ayat (5) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan
DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.17.2. Pasal 143 ayat (5) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR
disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan
DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah”;
1.17.3. Pasal 144 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang
berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan
kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah”; 1.17.4. Pasal 144 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan
DPR dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.17.5. Pasal 146 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang
berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan kepada Presiden”;_______
1.17.6. Pasal 146 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan
dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh
pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden”;
1.17.7. Pasal 148 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Tindak lanjut pembahasan
rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, DPD, atau presiden
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan”;
1.17.8. Pasal 148 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal
dari DPR, DPD, atau presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan”;
1.17.9. Pasal 150 ayat (2) huruf b bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “DPD
memberikan penjelasan serta Presiden dan DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan
undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD ”;
1.17.10. Pasal 150 ayat (2) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, “DPD memberikan penjelasan serta Presiden dan
DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan
kewenangan DPD ”;
1.17.11. Pasal 150 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi masalah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden,
apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan
undang-undang berasal dari Presiden. c. DPD mengajukan Daftar
Inventarisasi Masalah atas rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden atau
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah”;
1.17.12. Pasal 150 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden, apabila rancangan undang-undang
berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.
c. DPD mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah atas rancangan
undang-undang yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), yaitu:
1.18.1. Pasal 18
huruf g bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai, “rencana kerja pemerintah, rencana strategis
DPR, dan rencana strategis DPD”
1.18.2. Pasal 18
huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “rencana
kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD”
1.18.3. Pasal 20
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan
oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”;
1.18.4. Pasal 20
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan
Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”;
1.18.5. Pasal 21
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD,
dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi”;
1.18.6. Pasal 21
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan
Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR
melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi”;
1.18.7. Pasal 22
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR,
DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati
menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”;
1.18.8. Pasal 22
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “hasil
penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam
Rapat Paripurna DPR”;
1.18.9. Pasal 23
ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau
Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a.
untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b.
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum;”
1.18.10. Pasal 23
ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dalam
keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan
Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar
biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang
memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum;”
1.18.11. Pasal 43
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dapat berasal
dari DPR, DPD, atau Presiden”;
1.18.12. Pasal 43
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang dapat berasal dari DPR, DPD, atau Presiden”;
1.18.13. Pasal 48
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari DPD
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada
Presiden dan harus disertai Naskah Akademik”;
1.18.14. Pasal 48
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan
DPR dan kepada Presiden dan harus disertai Naskah Akademik”;
1.18.15. Pasal 49
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari DPR
disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan
DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah”;
1.18.16. Pasal 49
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan
kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah”;
1.18.17. Pasal 50
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari Presiden
diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD
untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah”;
1.18.18. Pasal 50
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan
kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.19. Pasal 68
ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Dalam pengantar musyawarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan presiden
menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR
memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan
penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal
dari Presiden; d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan
pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden; e. DPD memberikan
penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(2) berasal dari DPD”;
1.18.20. Pasal 68
ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam
pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR
memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan
DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c.
Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari Presiden; d. Presiden memberikan penjelasan serta
fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2)
berasal dari Presiden; e. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan
pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPD”;
1.18.21. Pasal 68
ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi
masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden dan
DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR dan DPD
jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; c. DPR dan
Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang berkaitan dengan
kewenangan DPD”;
1.18.22. Pasal 68
ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Daftar
inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
a. Presiden dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b.
DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; c.
DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang
berkaitan dengan kewenangan DPD”;
1.18.23. Pasal 70
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dapat ditarik
kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal
Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah”;
1.18.24. Pasal 70
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden,
dan oleh DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.25. Pasal 70
ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”Rancangan Undang-Undang yang sedang
dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR,
Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.26. Pasal 70
ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Rancangan
Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan
bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.27. Pasal 71
ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”; b.
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c.
Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna
DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.”
1.18.28. Pasal 71
ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Ketentuan
mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan
tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD
dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah”; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan
persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan
oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna
DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.”
1.18.29. Pasal 88
ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD,
dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan
Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang”;
1.18.30. Pasal 88
ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Penyebarluasan
dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan
Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga
Pengundangan Undang-Undang”;
1.18.31. Pasal 89
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai, “(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama
oleh DPR, DPD, dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi; (2) Penyebarluasan Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyebarluasan
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat
kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi. (4) Penyebarluasan
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.”
1.18.32. Pasal 89
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “(1)
Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR, DPD, dan Pemerintah
yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi;
(2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan
oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
(3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD
dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPD yang khusus
menangani bidang legislasi. (4) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang
berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.”
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
Sehingga berdasarkan putusan tersebut
maka pada dasarnya, pasca Putusan MK telah terjadi perubahan terhadap fungsi
legislasi DPD. Hal ini dapat diuraikan terhadap kaitannya dengan lima pokok
perosalannya yaitu sebagai berikut:
1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana
diatur di dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, harus diperlakukan setara dengan
RUU dari Presiden dan DPR. Proses
selama ini sebelum putusan MK, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian
dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR. Hal ini dianggap mereduksi
kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D Ayat
(1) UUD 1945. Dalam Putusannya, Mahkamah berpendapat bahwa: [17]
Kewenangan DPD yang ”dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”
bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau
sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian, DPD
mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal
mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Sehingga, kedudukan
DPD di bidang legislasi tidak lagi sebagai subordinat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan Presiden.
2. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk
mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan.
Disebutkan dalam putusan MK terkait pendapat Mahkamah, bahwa:[18]
Kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan
tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak
dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penggunaan
frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20 ayat
(2) UUD 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Penggunaan frasa “ikut
membahas” adalah wajar karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada
Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, sedangkan Pasal 22D UUD 1945 disahkan
pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada
tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD
ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah, bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan RUU harus
melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia
khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan
membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini
sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan
pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan
sebelum tahap persetujuan.
Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan
sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden
diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan
pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan
memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal
yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan
pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR,
serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara,
sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi
DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi.
Sehingga dalam hal ini, pembahasan RUU dari DPD harus
diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.
3. Kewenangan DPD tetap berhenti pada persetujuan atau pengesahan RUU menjadi
undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD telah membatasi
ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada
dasarnya adalah kehendak konstitusi. Dalam putusan MK disebutkan bahwa:[19]
Bahwa Pasal 20
ayat (2) UUD 1945 mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas
dan kewenangan untuk menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan
Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut
memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD
tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;
4. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa DPD ikut
menyusun program legislasi nasional (prolegnas). Dalam putusan MK disebutkan
bahwa:[20]
Penyusunan
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk
mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011,
perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan
skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan
sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas
tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak
ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat
melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D
ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas
sehingga tidak akan dibahas.
5. Kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam
hal RUU terkait APBN, pajak, pendidikan dan agama oleh DPD tetap tidak bisa
dimaknai sebagai kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut pula. Dalam putusan MK disebutkan bahwa:[21]
Makna “memberikan pertimbangan” sebagaimana yang
dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot kewenangan
DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut
serta dalam pembahasan dan merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk
menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya.
Kesimpulan
Kewenangan DPD berdasarkan landasan
konstitusionalnya yang kemudian direduksi oleh UU MD3 telah memberikan kerugian
konstitusional terhadap DPD. Terdapat beberapa pasal yang telah mengurangi
fungsi, tugas dan kewenangan DPD dari kehendak konstitusi. Kondisi ini dianggap
tidak memberikan sistem yang baik mengingat legitimasi anggota DPD yang sangat
kuat dan kelembagaan DPD sebagai lembaga tinggi negara, seharusnya dapat
bekerja dengan kewenangan signifikan sebagai territorial representation.
Putusan Mahkamh Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012 memberikan perubahan pola legislasi DPD. Dalam putusannya, dapat
dilihat kedudukan DPD di bidang
legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
melainkan setara dengan DPR dan presiden. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau
berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir
tahapan, namun kewenangan DPD tetap berhenti pada persetujuan atau pengesahan RUU menjadi
undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD telah membatasi
ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada
dasarnya adalah kehendak konstitusi. MK juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun
program legislasi nasional (prolegnas).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Safa’at, Muchammad, Parlemen
Bikameral: Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris,
Austria, dan Indonesia, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok
Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta, 2007.
_________________ Format
Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2005.
Haryadi, Agus, et.al, Bikameral
Bukan Federal, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006.
Rahman, Hasanuddin, Dewan
Perwakilan Derah : Bicameral Setengah Hati. Media Pressindo, Yogyakarta,
2004.
Sekretariat Jenderal DPD RI, Hasil-hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
Sekretariat Jenderal DPD RI, Pengabdian untuk Masyarakat dan Daerah; Dinamika Pelaksanaan Fungsi,
Tugas dan Kewenangan Konstitusional Komite III DPD RI Tahun Sidang 2009-2010,
Sekretariat Jenderal DPD RI, Jakarta, 2010.
[1] Dian Utami Mas
Bakar, Pascasarjana Universitas Airlangga, 2013.
[2] Lihat
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
[3] Jimly
Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007,
h. 153.
[4] Ibid.
[5] Jimly
Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara
dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005,
h.160-161
[6] Muchammad Ali
Safa’at, Parlemen Bikameral: Studi
Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan
Indonesia, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2010, h. 22-23
[7] Ibid.
[8] Sistem parlemen
bikameral merupakan sistem parlemen yang terdiri dari dua kamar atau badan.
Kamar pertama (First Chamber) biasa
disebut dengan Majelis Rendah (Lower
House) atau House of Commons atau
House of Representatives, sedangkan
kamar kedua (Second Chmaber) disebut
Mejelis Tinggi (Upper House) atau
Senat atau House of Lords. Hanya di
belanda yang menamakan Majelis Tingginya dengan Kamar Pertama (Erste Kamer) dan Majelis Rendahnya
adlah Kamar Kedua (Tweede Kamer).
[9] Ibid. Halaman
35
[10] Hasanuddin
Rahman, Dewan Perwakilan Derah :
Bicameral Setengah Hati, Media Pressindo,
Yogyakarta, 2004, h.19-20
[11] Agus Haryadi, et.al,
Kelompok DPD di MPR RI, Bikameral Bukan
Federal, Jakarta, 2006, h. 55
[12] Sekretariat
Jenderal DPD RI, Hasil-hasil Pelaksanaan
Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta, 2008,
h. 111.
[13] Sekretariat
Jenderal DPD RI Pengabdian untuk Masyarakat dan Daerah, Dinamika Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Konstitusional Komite
III DPD RI Tahun Sidang 2009-2010, Sekretariat Jenderal DPD RI, 2010, h. 5.
[14] Lihat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
[16] Ibid, h. 251-266.
[17] Ibid, h. 245.
[18] Ibid, h. 246-247.
[19] Ibid, h. 248
[20] Ibid, h. 249
Tidak ada komentar:
Posting Komentar