Minggu, 01 September 2013

Kewenangan DPD Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 92/PUU-X/2012

Oleh :

Dian Utami Mas Bakar[1]

Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, berdasarkan Pancasila maka dianut pula prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Sehingga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangakan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.[2]
Gagasan kedaulatan rakyat dapat disalurkan secara langsung maupun secara tidak langsung. Dalam masyarakat yang masih sederhana, demokrasi diselenggarakan secara langsung seperti yang dipraktikkan di masa Yunani Kuno dalam konsep ”city state” atau negara kota. Akan tetapi, dalam perkembangan masyarakat yang semakin kompleks dan dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan wilayahnya yang luas, demokrasi atau kedaulatan rakyat tidak mungkin diselenggarakan hanya secara langsung saja. Oleh karena itu umat manusia menciptakan lembaga perwakilan rakyat yang biasa disebut dengan lembaga legislatif atau parlemen.[3]
Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk, susunan, kedudukan dan kewenanganpun beraneka ragam sesuai dengan perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga perwakilan rakyat itu pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa yang diputuskan parlemen dianggap sebagai keputusan rakyat yang berdaulat. Sehingga lahirlah doktrin supremasi parlemen atau “The principle of supremacy of parliament”.[4] Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 tahap pada periode 1999-2002. Amandemen UUD 1945 ini pun akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Sehingga pada era reformasi, terjadi masa transisi menuju Indonesia baru dengan sistem ketatanegaraan yang sama sekali berubah secara fundamental dari sistem ketatanegaraan sebelumnya berdasarkan UUD 1945 yang asli. Salah satu gagasan fundamental yang sudah diadopsi yaitu anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) yang berlaku sebelumnya dalam sistematika UUD 1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di tangan Presiden dan dilakukan dengan persetujuan DPR, maka dalam perubahan pertama dan kedua UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk UU itu ditegaskan berada ditangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1) yang baru ditentukan hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR. Perubahan ini menegaskan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, dengan konsekuensi berubah pula pengertian kita tentang anutan prinsip pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama ini.[5]
Anutan prinsip pemisahan kekuasaan merupakan salah satu cara untuk menjaga agar kekuasaan yang diberikan oleh rakyat tidak disalahgunakan. Gagasan pemisahan kekuasaan telah muncul dalam karya Aristoteles dalam buku “Politics.” Kekuasaan suatu negara dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Pertama, kekuasaan mengadakan peraturan-peraturan dalam garis besar, yang disebut kekuasaan legislatif. Kedua, kekuasaan untuk bertingkahlaku sesuai dengan peraturan legislatif. Ketiga, apakah kekuasaan eksekutif dalam melaksanakan peraturan-peraturan legislatif tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya, kekuasaan ini disebut dengan kekuasaan yudikatif. Teori pemisahan kekuasaan juga dikemukakan oleh John Locke dalam Two Treaties of Government. Menurut John Locke, kekuasaan yang pertama adalah kekuasaan legislatif yang berhak mengarahkan kekuasaan persekutuan yang akan digunakan untuk kelestarian masyarakat dan para anggotanya. Lembaga ini tidak perlu senantiasa ada. Hukum dapat dibuat dalam waktu yang singkat dan kemudian bubar. Jika lembaga ini selalu ada, akan cenderung untuk menggapai kekuasaan. Hukum yang dibuat dalam waktu singkat tersebut mempunyai kekuatan yang tetap dan langgeng. Hukum memerlukan penerapan berkelanjutan atau memerlukan pelaksanaan. Maka perlu suatu kekuatan yang bertugas untuk melaksanakan hukum agar tetap tegak, yaitu kekuasaan eksekutif yang terpisah dari kekuasaan legislatif. Selain itu diperlukan kekuasaan yang bersifat alami dan sesuai dengan kecenderungan alami manusia. Kekuasaan ini bertugas untuk menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dan dengan masyarakat lain, atau kekuasaan yang mengurusi masalah perdamaian dan perang, yaitu kekuasaan federatif, diluar kekuasaan legislatif dan eksekutif.[6]
Teori pemisahan kekuasaan yang lain, yang juga menjadi acuan dari penyelenggaraan negara demokrasi modern, terutama Amerika Serikat, adalah teori Montesquieu. Kekuasaan dibagi menjadi tiga (trias politica), yaitu kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang,  kekuasaan  eksekutif  atau  kekuasaan  menjalankan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili. Argumentasi perlunya pembagian kekuasaan menurut Montesquieu (De l’esprit des lois atau The Spirit of Law, Bab ke-67) adalah sebagai berikut:[7]
“Apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan.. Juga, tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apabila Kekuasaan mengadili ini digabungkan pada kekuasaan legislatif, kehidupan dan kemerdekaan kawula negara akan dikuasai oleh pengawasan suka hati, oleh sebab hakim akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-galanya apabila orang-orang itu juga, ataupun badan yang itu juga 9apakah badan ini terdiri dari orang-orang bagsawan atau rakyat banyak) yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu..”
Perubahan sistem kelembagaan pasca amandemen UUD 1945 menghasilkan sebuah lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disingkat DPD). Terdapat dua gagasan dibalik kelahiran DPD. Pertama, gagasan mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar[8] (bikameral). DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR) digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari Senate sebagai perwakilan Negara bagian (di Indonesia dilihat bentuknya seperti lembaga DPD), dan House of Representatives sebagai perwakilan seluruh rakyat (di Indonesia dilihat bentuknya seperti lembaga DPR). Di Amerika Serikat, kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan Congress (di Indonesia dilihat bentuknya seperti lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR). Sistem parleman bikameral diperlukan untuk mencegah kesalahan legislasi yang dilakukan oleh satu kamar, untuk menciptakan prinsip saling mengontrol dalam parlemen, dan agar kebijakan atau keputusan yang dibuat memperoleh dukungan mayoritas (supermajority) sehingga lebih dapat diterima dan stabil.[9] Kedua, gagasan untuk meningkatakan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat pula dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem Utusan Daerah di MPR menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan.[10]
Kehadiran DPD yang kemudian merubah sistem perwakilan menjadi dua kamar tetap mempertahankan keberadaan MPR untuk menyebut nama rumah parlemen yang terdiri atas dua kamar itu. Dalam kaitan dengan checks and balances pula sehingga diajukan gagasan perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan) menjadi parlemen sistem bikameral (dua kamar) yang terajut dalam hubungan checks and balances dengan lembaga negara lainnya. Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga perwakilan teritorial yakni DPD. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, semula kedua lembaga ini digagas dengan fungsi seperti parlemen yang memiliki DPR dan Senat yang mempunyai fungsi legislasi dan fungsi-fungsi parlemen lainnya seperti fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Namun pada praktek ketatanegaraan, DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas dalam UUD 1945. Keberadaan DPD dianggap sebagai aksesori demokrasi dalam sistem perwakilan[11].
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat UU MD3), terdapat beberapa pasal yang dianggap mereduksi kewenangan DPD. Seperti ketentuan yang secara eskplisit menghentikan area kewenangan bagi DPD untuk bisa terlibat dalam akses pengambilan keputusan membentuk undang-undang. Kalaupun dilibatkan, statusnya hanya terbatas pada kewenangan mengusulkan Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) yang dianggap tidak mendapat perlakuan yang setara dengan RUU dari Presiden dan DPR, keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (selanjutnya disebut Prolegnas) yang tidak disetarakan dengan keterlibatan Presiden dan DPR, dan terkait kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUDNRI 1945. Sehingga, kewenangan DPD dianggap semakin direduksi melalui UU MD3. Disisi lain, DPR memiliki fungsi legislasi yang penuh. Pasal 20 ayat (1) UUDNRI 1945 menegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-undang berada di tangan DPR. Kewenangan DPR terkait legislasi baik dimulai dari tahap perancangan, pembahasan, persetujuan dan pengambilan keputusan. Kondisi seperti ini dianggap tidak sesuai dengan mandat Pasal 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR yang sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, sehingga sama-sama mempunyai legitimasi yang kuat dari rakyat. Sehingga dengan sistem atau struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).
Oleh karena itu, DPD mengajukan gugatan Pengujian UU MD3 yang dianggap telah mereduksi kewenangan DPD sehingga tidak sesuai dengan nafas UUDNRI 1945. Gugatan kepada Mahkamah Konstitusi tersebut berdasarkan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012 telah diputus pada Februari 2013 lalu. Amar putusan mengabulkan permohonan untuk sebagian, sehingga hal ini memberikan pergeseran terhadap fungsi legislasi DPD. Berdasarkan latar belakang tersebut maka menarik untuk membahas perkembangan mengenai fungsi legislasi DPD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
Pembahasan
Ketentuan UUDNRI 1945 mengatur keberadaan lembaga DPD di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lain dimaksudkan guna memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperkokoh persatuan kebangsaan seluruh wilayah nusantara, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah serta serasi dan seimbang. Keberadaan DPD diharapkan dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Selain itu keberadaan DPD diharapkan dapat memperkuat sistim parlemen yang pada gilirannya dapat memperkuat demokrasi.[12]
Landasan konstitusional kekuasaan DPD diatur dalam Pasal 22D UUDNRI 1945. Selanjutnya kewenangan DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Selain itu sehubungan dengan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD maka kewenangannya diatur pula dalam Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Menurut UU MD3, DPD RI dapat mengajukan usul suatu RUU ke DPR. Apabila suatu RUU disetujui atau disetujui dengan perubahan, RUU tersebut akan menjadi rancangan undang-undang usul DPR. Selanjutnya, terhadap RUU usul DPD RI yag telah diadopsi menjadi RUU usul DPR RI, pimpinan DPR RI akan meminta kepada pimpinan DPD RI untuk menunjuk alat kelengkapan yang akan membahas RUU tersebut di DPR. Pembahasan atas sebuah RUU di DPR dilakukan dalam dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat satu dilaksanakan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Sementara itu, pembicaraan tingkat dua dilakukan dalam rapat paripurna yang merupakan forum pengambilan keputusan. Dari kedua tingkat pembicaraan tersebut, DPD RI hanya dapat mengambil peran pada pembicaraan tingkat pertama. Hal tersebut juga hanya dilakukan dalam bentuk penyampaian pendapat mini yang disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat satu. Ada atau tidak adanya pendapat mini dari DPD RI terhadap sebuah RUU tidak menyebabkan terhentinya atau tidak sahnya pembicaraan tingkat satu sehingga pembahasan terhadap sebuah RUU dapat dilanjutkan pada tingkat dua.[13]
Namun, kewenangan DPD berdasarkan UU MD3 dan UU P3 dianggap telah direduksi dari maksud UUD. Sehingga melalui instrumen constitutional review, DPD mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, DPD selaku Pemohon memohon agar MK melakukan pengujian terhadap:
a.       UU MD3, yaitu Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), dan 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5); dan
b.      UU P3, yaitu Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) .
Selanjutnya dalam permohonannya, DPD selaku Pemohon menyatakan mendapatkan kerugian kewenangan konstitusional di bidang legislasi untuk “Dapat Mengajukan Rancangan Undang-Undang” yang diberikan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 dan kewenangan konstitusional untuk “Ikut Membahas Rancangan Undang-Undang” yang diberikan oleh Pasal 22D ayat (2) juncto Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dalam legal standing pemohon diuraikan kerugian konstitusional yang didalilkan sebagai berikut :[14]
v  Bahwa Pemohon sebagai lembaga negara, secara konstitusional telah dirugikan pemenuhan kewenangan konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena:
a.       Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi Pemohon menjadi setara dengan kewenangan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR;
b.      Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara sistematis mengurangi kewenangan Pemohon sejak awal proses pengajuan Rancangan Undang-Undang;
c.       Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 telah mendistorsi Rancangan Undang-Undang Pemohon menjadi Rancangan Undang-Undang Usul DPR;
d.      Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 telah meniadakan kewenangan Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang baik di dalam maupun di luar Program Legislasi Nasional;
e.       Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah merendahkan kedudukan Pemohon menjadi lembaga yang sub-ordinat di bawah DPR karena meniadakan kewenangan konstitusional Pemohon untuk dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang;
f.       Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU P3 tidak mengikutsertakan Pemohon dalam seluruh proses pembahasan Rancangan Undang-Undang yang menjadi kewenangan konstitusional Pemohon;
g.      Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dan Pasal 107 ayat (1) huruf c UU MD3 dan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 telah mereduksi kewenangan konstitusional Pemohon untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan sebagai produk dari mekanisme ikut membahas suatu Rancangan Undang-Undang yang terkait dengan kewenangannya; dan
h.      Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah meniadakan kewenangan Pemohon dalam pengajuan dan pembahasan Daftar Inventaris Masalah yang justru merupakan ”inti” dari pembahasan rancangan undang-undang;
i.        Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5) UU P3 telah mereduksi kewenangan Pemohon dengan mengatur bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tetap dilaksanakan meski tanpa keterlibatan Pemohon;
j.        Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a dan huruf b UU MD3, serta Pasal 68 ayat (2) huruf c dan d, dan ayat (4) huruf a dan Pasal 69 ayat (1) huruf a dan b, serta ayat (3) UU P3 merugikan kewenangan Pemohon karena setiap Rancangan Undang-Undang sepanjang yang berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang kewenangan Pemohon seharusnya dibahas oleh DPR yang diwakili oleh alat kelengkapan DPR in casu bukan fraksi, Presiden yang diwakili oleh menteri yang ditunjuk, dan Pemohon yang diwakili oleh alat kelengkapan Pemohon.

Oleh karena itu, menurut Mahkamah, terdapat lima pokok persoalan konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon, yaitu:[15]
1.      Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang menurut Pemohon, RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR;
2.      Kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945 bersama DPR dan Presiden;
3.      Kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945;
4.      Keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas yang menurut Pemohon sama halnya dengan keterlibatan Presiden dan DPR;
5.      Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945;

Selanjutnya, pada amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:[16]
1.    Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu:
1.1    Pasal 102 ayat (1):
1)   huruf a sepanjang frasa “dengan mempertimbangkan masukan dari DPD”;
2)   huruf d sepanjang frasa ...atau DPD”;
3)   huruf e sepanjang frasa ...atau DPD”;
4)   huruf h;
1.2. Pasal 147;
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.3. Pasal 102 ayat (1):
1)   huruf a sepanjang frasa “dengan mempertimbangkan masukan dari DPD”;
2)   huruf d sepanjang frasa ...atau DPD”;
3)   huruf e sepanjang frasa ...atau DPD”;
4)   huruf h;
1.4. Pasal 147;
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5. Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata “DPD”;
1.6. Pasal 43 ayat (2);
1.7. Pasal 45 ayat (1) sepanjang frasa “... kepada DPR”;
1.8. Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa “... atau DPD”;
1.9. Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
1.10. Pasal 65 ayat (3);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.11. Pasal 21 ayat (3) sepanjang kata “DPD”;
1.12. Pasal 43 ayat (2);
1.13. Pasal 45 ayat (1) sepanjang frasa “... kepada DPR”;
1.14. Pasal 46 ayat (1) sepanjang frasa “... atau DPD”;
1.15. Pasal 48 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4);
1.16. Pasal 65 ayat (3);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.17. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), yaitu:
1.17.1. Pasal 143 ayat (5) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.17.2. Pasal 143 ayat (5) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
1.17.3. Pasal 144 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”; 1.17.4. Pasal 144 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.17.5. Pasal 146 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden”;_______
1.17.6. Pasal 146 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden”;
1.17.7. Pasal 148 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, DPD, atau presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan”;
1.17.8. Pasal 148 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, DPD, atau presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan”;
1.17.9. Pasal 150 ayat (2) huruf b bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “DPD memberikan penjelasan serta Presiden dan DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD ”;
1.17.10. Pasal 150 ayat (2) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “DPD memberikan penjelasan serta Presiden dan DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD ”;
1.17.11. Pasal 150 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden. c. DPD mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah atas rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.17.12. Pasal 150 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden. c. DPD mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah atas rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), yaitu:
1.18.1. Pasal 18 huruf g bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD
1.18.2. Pasal 18 huruf g tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD
1.18.3. Pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”;
1.18.4. Pasal 20 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”;
1.18.5. Pasal 21 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi”;
1.18.6. Pasal 21 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi”;
1.18.7. Pasal 22 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”;
1.18.8. Pasal 22 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “hasil penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”;
1.18.9. Pasal 23 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;”
1.18.10. Pasal 23 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dalam keadaan tertentu, DPR, DPD, atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum;”
1.18.11. Pasal 43 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, DPD, atau Presiden”;
1.18.12. Pasal 43 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR, DPD, atau Presiden”;
1.18.13. Pasal 48 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harus disertai Naskah Akademik”;
1.18.14. Pasal 48 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan kepada Presiden dan harus disertai Naskah Akademik”;
1.18.15. Pasal 49 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.16. Pasal 49 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.17. Pasal 50 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.18. Pasal 50 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.19. Pasal 68 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden; e. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPD;
1.18.20. Pasal 68 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden; e. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPD;
1.18.21. Pasal 68 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; c. DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang berkaitan dengan kewenangan DPD”;
1.18.22. Pasal 68 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR dan DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; c. DPR dan Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPD yang berkaitan dengan kewenangan DPD”;
1.18.23. Pasal 70 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.24. Pasal 70 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR, Presiden, dan oleh DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.25. Pasal 70 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.26. Pasal 70 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR, Presiden, dan DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”;
1.18.27. Pasal 71 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.”
1.18.28. Pasal 71 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR, Presiden, atau DPD dalam hal Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.”
1.18.29. Pasal 88 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang”;
1.18.30. Pasal 88 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ”Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang”;
1.18.31. Pasal 89 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR, DPD, dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi; (2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi. (4) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.”
1.18.32. Pasal 89 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR, DPD, dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi; (2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi. (4) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.”
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Sehingga berdasarkan putusan tersebut maka pada dasarnya, pasca Putusan MK telah terjadi perubahan terhadap fungsi legislasi DPD. Hal ini dapat diuraikan terhadap kaitannya dengan lima pokok perosalannya yaitu sebagai berikut:
1.      Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR. Proses selama ini sebelum putusan MK, menempatkan  RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR. Hal ini dianggap mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945. Dalam Putusannya, Mahkamah berpendapat bahwa: [17]
Kewenangan DPD yang ”dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah” bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Sehingga, kedudukan DPD di bidang legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan Presiden.
2.      Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan. Disebutkan dalam putusan MK terkait pendapat Mahkamah, bahwa:[18]
Kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah wajar karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999, sedangkan Pasal 22D UUD 1945 disahkan pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada   tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.
Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi.

Sehingga dalam hal ini, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.
3.      Kewenangan DPD tetap berhenti pada  persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. Dalam putusan MK disebutkan bahwa:[19]
Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;

4.      Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun program legislasi nasional (prolegnas). Dalam putusan MK disebutkan bahwa:[20]
Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas.

5.      Kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam hal RUU terkait APBN, pajak, pendidikan dan agama oleh DPD tetap tidak bisa dimaknai sebagai kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut pula.  Dalam putusan MK disebutkan bahwa:[21]
Makna “memberikan pertimbangan” sebagaimana yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan dan merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya.

Kesimpulan

Kewenangan DPD berdasarkan landasan konstitusionalnya yang kemudian direduksi oleh UU MD3 telah memberikan kerugian konstitusional terhadap DPD. Terdapat beberapa pasal yang telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangan DPD dari kehendak konstitusi. Kondisi ini dianggap tidak memberikan sistem yang baik mengingat legitimasi anggota DPD yang sangat kuat dan kelembagaan DPD sebagai lembaga tinggi negara, seharusnya dapat bekerja dengan kewenangan signifikan sebagai territorial representation.
Putusan Mahkamh Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan perubahan pola legislasi DPD. Dalam putusannya, dapat dilihat kedudukan DPD di bidang legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan presiden. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan, namun kewenangan DPD tetap berhenti pada  persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. MK juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun program legislasi nasional (prolegnas).

DAFTAR PUSTAKA

Ali Safa’at, Muchammad, Parlemen Bikameral: Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
_________________ Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005.
Haryadi, Agus, et.al, Bikameral Bukan Federal, Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2006.
Rahman, Hasanuddin, Dewan Perwakilan Derah : Bicameral Setengah Hati. Media Pressindo, Yogyakarta, 2004.
Sekretariat Jenderal DPD RI, Hasil-hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
Sekretariat Jenderal DPD RI, Pengabdian untuk Masyarakat dan Daerah; Dinamika Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Konstitusional Komite III DPD RI Tahun Sidang 2009-2010, Sekretariat Jenderal DPD RI, Jakarta, 2010.


[1] Dian Utami Mas Bakar, Pascasarjana Universitas Airlangga, 2013.
[2] Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
[3] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, h. 153.
[4] Ibid.
[5] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, h.160-161
[6] Muchammad Ali Safa’at, Parlemen Bikameral: Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2010, h. 22-23
[7] Ibid.
[8] Sistem parlemen bikameral merupakan sistem parlemen yang terdiri dari dua kamar atau badan. Kamar pertama (First Chamber) biasa disebut dengan Majelis Rendah (Lower House) atau House of Commons atau House of Representatives, sedangkan kamar kedua (Second Chmaber) disebut Mejelis Tinggi (Upper House) atau Senat atau House of Lords. Hanya di belanda yang menamakan Majelis Tingginya dengan Kamar Pertama (Erste Kamer) dan Majelis Rendahnya adlah Kamar Kedua (Tweede Kamer).
[9] Ibid. Halaman 35
[10] Hasanuddin Rahman, Dewan Perwakilan Derah : Bicameral Setengah Hati, Media Pressindo,  Yogyakarta, 2004, h.19-20
[11] Agus Haryadi, et.al, Kelompok DPD di MPR RI, Bikameral Bukan Federal, Jakarta, 2006, h. 55
[12] Sekretariat Jenderal DPD RI, Hasil-hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta, 2008, h. 111.
[13] Sekretariat Jenderal DPD RI Pengabdian untuk Masyarakat dan Daerah, Dinamika Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Konstitusional Komite III DPD RI Tahun Sidang 2009-2010, Sekretariat Jenderal DPD RI, 2010, h. 5.
[14] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
[15] Ibid, h. 239-240.
[16] Ibid, h. 251-266.
[17] Ibid, h. 245.
[18] Ibid, h. 246-247.
[19] Ibid, h. 248
[20] Ibid, h. 249
[21] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar