Minggu, 01 September 2013

EKSISTENSI DAN PENATAAN STATE AUXILIARY BODIES DALAM SISTEM KELEMBAGAAN NEGARA INDONESIA
Francois Venter mencatat, bahwa karakteristik dasar sebuah Negara Konstitusional Modern, adalah adanya sebuah konstitusi tertulis yang memiliki nilai hukum yang tinggi. Oleh karena itu, konstitusi memiliki peran utama dalam suatu negara. Philipus M. Hadjon mengutip pendapat John Alder dalam bukunya General Principles of Constitutional and Administrative Law, bahwa “A Constitution is the set of most important rules that regulate the relations among the defferent parts of the government of a given country and also the relations between the different parts of the government and the people of the country[1]. Berdasarkan hal tersebut tampaklah betapa pentingnya konstitusi bagi bangunan ketatanegaraan suatu negara. Karena konstitusi adalah dasar bagi peletakkan landasan pijak dan arah ke mana negara akan dibawa.[2] Hans Kelsen memberikan pengertian konstitusi dalam arti formal dan materil. Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat norma hukum yang hanya dapat diubah di bawah pengawasan ketentuan-ketentuan khusus, yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan norma-norma ini lebih sulit. Konstitusi dalam arti materil terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang.[3]
Selanjutnya Loewenstein, Friedrich dan Herman Finer mengatakan bahwa konstitusi merupakan sarana pengendali kekuasaan (in manner such power is to be exercised). Oleh karena itu, penerapan konstitusi dapat dijadikan alat untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan.[4] Hal inilah yang dikehendaki oleh prinsip konstitusionalisme. Menurut C.J Bax dan G.F.M van der Tang konstitusionalisme mengandung tiga pengertian esensial sebagai berikut[5] :
a.       A state, or any system of government, must be founded upon law, while the power exercised within the state should conform to definite legal rules and procedures (the idea of constitution or fundamental law). (Sebuah negara atau sistem pemerintahan apapun harus didirikan di atas undnag-undang, sedangkan kekuasaan yang dijalankan di dalam negara harus sejalan dengan peraturan-peraturan dan prosedur hukum yang tegas (yang mengacu kepada Konstitusi atau Undang-Undang dasar).
b.      The institutional structure of government should ensure that power resides with, or is divided among, different branches which mutually control their exercise of power and which are obliged to co-operate (the ideas of mixed government, separation of powers, check and balances). (Bangunan institusional pemerintah harus memastikan bahwa kekuasaan berada ditangan atau dibagi-bagi diantara, cabang-cabang yang berbeda yang saling mengontrol pelaksanaan kekuasaan mereka dan yang berkewajiban untuk bekerja sama (gagasan mengenai pemerintahan campuran, pemisahan kekuasaan, sistem check and balances).
c.       The relationship between the government and the individual members of society should be regulated in such manner that it leaves the letter’s basic right and freedoms unimpaired. (Hubungan antara pemerintah dengan anggota perseorangan masyarakat sebaiknya diatur sedemikian rupa sehinggan hubungan tersebut menjamin hak-hak dan kebebasan dasar yang tidak dilanggar.

Disamping itu, Maarseveen dan Van Der Tang menyatakan bahwa “Constitution is the basic collection of rules establishing the principal institutions of state.” Selanjutnya kedua penulis tersebut menyatakan “Constitution regulates the most important of the state’s institutions, their powers and their mutual relations.”[6] Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur tentang kekuasaan dan pembatasan kekuasaan (konstitusionalisme), dimana kekuasaan[7] yang diatur oleh konstitusi pada dasarnya terbagi atas kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan yang diatur oleh konstitusi diwujudkan dalam bentuk organ/institusi/organisasi negara atau yang dalam penulisan ini menggunakan istilah lembaga negara[8]
Eric Barendt dalam bukunya An Introduction Constitutional Law menyatakan bahwa The constitution of a state is the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, court and other important national institution.[9] Oleh karena itu “Other important national institution” juga menjadi hal yang penting yang harus diatur dalam konstitusi. Tidak hanya lembaga negara dalam penjelmaan trias politica tetapi juga lembaga negara yang dianggap penting berdasarkan kebutuhan dan ciri khas[10] suatu negara.
Philipus M. Hadjon dalam satu tulisannya, mengawali pembahasan dengan mengutip tulisan D.H. Meuwissen, bahwa Hukum tata Negara (klasik) lazimnya mengenai dua pilar, yaitu organisasi negara dan warga negara. Dalam organisasi negara diatur bentuk negara dan atau alat perlengkapan negara. Alat perlengkapan negara, Lord James Brys menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Studies in History and Jurisprudence” sebagaimana dikutip Sri Soemantri, bahwa “Constitution is a frame of political society, organized through and by law, one in which law has established permanent institutions, which recognised functions and definite rights.” Dari rumusan tersebut, maka dapatlah disimpulkan dalam konstitusi diatur lembaga-lembaga yang permanen (permanent institutions) yang mempunyai fungsi, yaitu fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi yudisial.[11] Dalam kaitan dengan penyelenggaraan negara, maka negara harus memiliki otoritas atau kekuasaan tertinggi untuk membentuk dan melaksanakan undang-undang. Otoritas atau kekuasaan tertinggi ini disebut dengan Pemerintah. Pemerintah merupakan alat kelengkapan negara; suatu negara tidak dapat eksis tanpa adanya pemerintah, karena “pemerintah pada hakikatnya adalah suatu kekuasaan yang terorganisir.” Oleh karena itu, pemerintah adalah suatu organisasi yang diberi hak untuk melaksanakan kekuasaan kedaulatan. Dalam pengertian yang luas, pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanaan di dalam dan di luar negara. Demi mengemban tugas maka negara harus memiliki tiga kekuasaan dalam pemerintahan. Ketiga kekuasaan pemerintah semuanya berperan dalam pelaksanaan kedaulatan sebuah negara modern.[12]
Dalam kaitannya dengan kedaulatan, maka kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan. Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisah ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Prinsip anutan paham pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan ini penting untuk diernihkan karena pilihan diantara keduanya akan sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan negara secara keseluruhan, terutama dalam hubungannya dengan penerapan prinsip ‘checks and balances’ antara lembaga-lembaga tinggi negara.[13] Menurut Philupius M. Hadjon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: Pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara yang lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya.[14]  
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, maka pada hakikatnya tersirat pengklasifikasian antara lembaga negara. Lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau kewenangannya diberikan oleh UUD dapat disebut sebagai lembaga negara utama sedangkan lembaga negara yang berfungsi juga dalam penyelenggaraan negara tetapi dikatakan sebagai lembaga negara penunjang. Namun meski dapat dikatakan demikian, tetapi tidak sesederhana dalam mengidentifikasi lembaga-lembaga negara tersebut.
Selanjutnya, untuk mencoba memahami konsep lembaga negara dengan pendekatan perbandingan, selanjutnya Philipus M. Hadjon memberikan contoh konsep jerman. Konstitusi Jerman membedakan State Organ dengan Constitutional Organ. Constitutional Organ hanyalah menyangkut lembaga-lembaga (organ) yang status kewenangannya langsung diatur oleh konstitusi. Dalam ketatanegaraan Jerman, Constitutional Organ tertinggi adalah Bundestag sebagai organ uang dipilih oleh rakyat. Adapun State Organ adalah lembaga-lembaga dalam negara Jerman yang dianggap bertindak atas nama negara Jerman.[15]
Secara garis besar, UUDNRI tahun 1945 mengenal lembaga negara[16] yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini diklasifikasikan berdasarkan kewenagan konstitusional yang dimilikinya. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan-kewenangan yang ditentukan oleh atau dalam UUD berkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur dalam UUD 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan ataupun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945, akan nampak jelas bahwa organ-organ yang menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional dimaksud sangat beragam. State Institutions atau Staatsorgan dapat dibedakan dari organisasi civil society atau badan usaha dan badan hukum lainnya yang bersifat perdata. Oleh karena itu, institusi, organ atau organisasi lain yang berada di luar kategori organisasi civil society dan organisasi yang bergerak di lingkungan dunia usaha tersebut, dapat kita sebut sebagai organ negara dalam arti luas. Hal yang membedakan organ atau lembaga-lembaga negara dalam pengertian yang luas tersebut satu sama lainnya, hanyalah kategori fungsinya apabila dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara atan kategori sumber legalitas kewenangan yang dimilikinya apakah bersumber dari UUD, dari UU atau dari ketentuan peraturan yang lebih rendah kedudukannya daripada UU.[17] Lembaga negara selain yang memiliki kewenangan konstitusional ini kemudian dapat dikategorikan sebagai lembaga negara penunjang sesuai kapasitas legalitasnya yang berasal dari UU atau peraturan di bawah UU.
Berdasarkan uraian panjang di atas, maka selanjutnya pembahasan dalam penulisan ini akan difokuskan kepada eksistensi lembaga negara penunjang dan penataan kelembagaannya. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudisial yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama yang hubungannnya satu sama lain diikat oleh prinsip checks and balances. Di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial (KY), Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lemabaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus di pahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama. Misalnya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu dari fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Dengan kata lain, bahwa lembaga-lembaga negara ini hanya bertugas melayani atau dalam tugas dan wewenangnya berkaitan dengan lembaga-lembaga negara utama sebagaiamana disebutkan di atas, yang dalam ketatanegaraan disebut dengan state auxiliary bodies (lembaga negara yang melayani) atau lebih dikenal sebagai lembaga negara bantu/penunjang. Walaupun tugasnya melayani, akan tetapi menurut Sri Sumantri M, secara nasional state auxiliary bodies mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2000 tentang judicial review terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam UUD juga tidak boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan[18] : sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUDNRI Tahun 1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya dama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD, tidaklah dapat diartikan bahwa UUD memandang Kepolisian negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukan konstitusionalnya dari pada Kejaksaan Agung. Demikian pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti KY yang diatur sevcara umum dalam UUD, komnas HAM, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan UU belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaannya maupun para anggota dan pimpinannya dibidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada bentuk UU yang mengaturnya. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antar lemabag negara, pembentuk UU harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang terperinci dan jelas dalam UU yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud.[19]    
Terkait penataan kelambagaan hukum, sebagai tindak lanjut dari pembaruan konstitusional pasca amandemen UUD 1945, maka di sektor negara dan pemerintahan, telah terjadi upaya penataan yang mencakup kelembagaan di ranah legislatif, eksekutif dan judisial dan bahkan di wilayah-wilayah campuran atau yang disebut dengan badan-badan independen. Namun sekarang, telah bermunculan banyak lembaga independen, misalnya Komisi Nasional HAM, komisi Pemeriksa Kekayaan penyelenggaraa Negara, Kompisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, dan sebagainya. Semua badan-bdan ini perlu dikonsolidasikan, sehingga tidak berkembang tanpa arah yang jelas.[20] Berdasarkan uraian tersebut maka pada dasarnya dikehendaki adanya penataan kelembagaan terhadap state auxiliary bodies atau lembaga negara penunjang. Jika dalam UUD 1945 hanya menentukan satu lembaga yang termasuk auxiliary body, tetapi di luar UUD berkembang auxiliary body tanpa kendali. Berdasarkan pendapat Asimov, komisi negara dapat dibedakan dalam dua kategori; Pertama, komisi negara independen yaitu organ negara yang diidealkan independen dan karenanya berada di luat cabang kekuasaan eksekuti, legislatif maupun yudisial; namun justru mempunyai fungsi campur sari ketiganya; Kedua, komisi negara biasa (state comissions), yaitu komisi negara yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting. Di Indonesia saat ini sudah lebih dari 50 lembaga negara bantu terbentuk. Dengan perincian komisi negara independen sekitar 13 dan komisi negara eksekutif jumlahnya sekitar 40 komisi, berikut[21] :
Tabel 1.1 Komisi negara Independen
No.
Komisi
Dasar Hukum
1
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan
Keppres No. 181/1998
2
Komisi Pengawas Persaingan usaha
UU No. 5/1999
3
Dewan Pers
UU No. 40/1999
4
Komisi Nasional Hak Asas Manusia
Keppres 48/2001-UU no 39/1999
5
Komisi Ombudsman Nasional
Keppres No. 44/2000
6
Komisi Tindak Pidana Korupsi
UU No. 30/2002
7
Komisi Penyiaran Indonesia
UU No. 32/2002
8
Komisi Perlindungan Anak
UU No. 23/2002 dan keppres No. 77/2003
9
Dewan Pendidikan
UU No. 20/2003
10
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan
Keppres No. 18/2003
11
Komisi Pemilihan Umum
Pasal 22E UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 12/2003
12
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
UU No. 27/2004
13
Komisi Yudisial
Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 dan UU No. 22/2004
Tabel 1.2 Komisi Negara Eksekutif
No.
Komisi
Dasar Hukum
1
Komisi Hukum Nasional
Keppres No. 15/2000
2
Komisi Kepolisian
UU No. 2/2002
3
Komisi Kejaksaan
UU No. 16/2004 dan Perpress No. 18/2005
4
Dewan Pembina Industri Strategis
Keppres No. 40/1999
5
Dewan Riset Nasional
Keppres No.94/1999
6
Dewan Buku Nasional
Keppres No. 110/1999
7
Dewan Maritim Indonesia
Keppres No. 161/1999
8
Dewan Ekonomi Nasional
Keppres No. 144/1999
9
Dewan Pengemban Usaha Nasional
Keppres No. 165/1999
10
Komite Nasional Keselamatan Transportasi
UU No. 41/1999 dan Keppres No. 105/1999
11
Komite Antar-Departemen Bidang Kehutanan
Keppres No. 80/2000
12
Komite Akreditasi Nasional
Keppres No. 78/2001
13
Komite Penilaian Independen
Keppres No. 99/1999
14
Komite Olahraga Nasional Indonesia
Keppres No. 72/2001
15
Komite Kebijakan Sektor Keuangan
Keppres No. 89/1999
16
Komite Standar nasional untuk Satuan Ukuran
PP No. 102/2000
17
Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
Keppres No. 12/2000
18
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Keppres No. 54/2005
19
Dewan Gula Nasional
Keppres No. 23/2003
20
Dewan Ketahanan Nasional
Keppres No. 132/2001
21
Dewan Pengemban Kawasan Timur Indonesia
Keppres No. 44/2002
22
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
Keppres No. 151/2000
23
Dewan Pertahanan Nasional
UU No. 3/2001
24
Badan Narkotika Nasional
Keppres No. 17/2002
25
Bakornas Penanggulangan Bencana dan Pengungsi
Keppres No. 3/2001 jo. Keppres No. 111/2001
26
Badan Pengemban Kapet
Keppres No. 150/2002
27
Bakor Pengembangan TKI
Keppres No. 29/1999
28
Bdan Pengelola Gelora Bung Karno
Keppres No. 72/1999
29
Badan Pengelola Kawasan Kemayoran
Keppres No. 73/1999
30
Badan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD Dan Kep. Nias Sumatera Utara
Perpu No. 3/2005
31
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
PP No. 23/2004
32
Badan Pengatur Jalan Tol
PP No. 15/2005
33
Adan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
PP No. 16/2005
34
Lembaga Koordinasi Dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
Keppres No. 83/1999
35
Lembaga Sensor Film
PP No. 8/2994
36
Korsil Kedokteran Indonesia
UU No. 29/2004
37
Badan Pengelola Puspitek
Keppres No. 43/1976
38
Badan Pengemban Kehidupan Bernegara
Keppres No. 85/1999

            Berdasarkan tabel dengan data hingga 2005 di atas, telah memperlihatkan banyaknya komisi atau lembaga penunjang. Pada dasarnya menurut Sri Sumantri[22] : bahwa untuk memahami perkembangan auxiliary body perlu diketahui terlebih dahulu tujuan didirikannya suatu negara setelah itu baru ditetapkan berbagai lembaga negara dalam undang-undang dasarnya. Sehingga demi menghindari penggemukan yang lebih berkelanjutan maka harus dilakukan penataan kelambagaan ini. Hal ini dapat dimulai dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dimaksudkan adalah mempersulit pembentukan lembaga yang harus diukur dari urgensi keberadaan dan peranannya dalam penyelenggaran negara. Sedangkan langkah represif yang dapat diambil jika memang telah terjadi penggemukan organ negara maka menurut hemat penulis, lembaga-lembaga yang memiliki tujuan atau bidang yang sama hendaklah dilebur. Namun titik berat yang harus diperhatikan adalah dalam pembentukan lembaga, harus memperhatikan lembaga yang sudah ada, sehingga jika suatu fungsi dianggap penting dan perlu maka pada lembaga yang telah ada yang memiliki bidang yang sama dilakukan penambahan tugas dan fungsinya saja bukan pembentukan organ baru jika dalam satu tujuan atau bidang yang sama. Hal ini dapat diwujudkan jika terjadi pemahaman yang baik dan pertimbangan yang matang dari pemerintah itu sendiri sebagai pelaksana penyelenggaraan negara.
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia, presidenlah yang pertama mengetahui, lembaga macam apa yang diperlukan untuk menangani masalah-masalah tertentu dalam mewujudkan tujuan nasional negara.
Kedudukan dan peranan lembaga negara utama dan lembaga-lembaga yang melayani adalah permanent institutions, sedangkan lembaga-lembaga yang melayani (State Auxiliary Bodies) dapat tumbuh, berkembang, dan mungkin dihapus. Hal ini tergantung dari situasi dan kondisi negara itu. Hal yang perlu diperhatikan ialah agar pemerintah dalam hal ini Presiden dalam membentuk State Auxiliary Body harus memperhatikan lembaga yang sudah ada.[23]
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusinalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Chaidir, Ellydar, Hukum dan Teori Konstitusi, Kreasi Total Media Yogyakarta, Yogyakarta, 2007
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cet. V, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010
Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik; Mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Fokusmedia, Bandung, 2007
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Cet. I, (terjemahan SPA Teamwork), Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004
Tutik, Titik Triwulan,  Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010


[1] Hal ini dikenal sebagai prinsip konstitusionalisme (pembatasan kekuasaan) dimana konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lainnya, yakni hubungan antara pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan yang lainnya  (maka pengaturan dalam hubungannya juga sekaligus memberikan batasannya).
[2] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, h. 85.
[3] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Cet. V, (terjemahan Raisul Muttaqien), Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, h. 180.
[4] Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Kreasi Total Media Yogyakarta, Yogyakarta, 2007, h. 38.
[5] Ibid, h. 17.
[6] Dikutip dari paper persentation kuliah, Sukardi, Konstitusi dan Lembaga-Lembaga Negara.
[7] Biasa  dikenal dengan trias politica, yaitu pemisahan kekuasaan negara menjadi 3 cabang kekuasaan utama. Dalam buku Arsitektur Konstitusi Demokratik oleh Hendarmin Ranadireksa menuliskan bahwa berdasarkan trias politica, maka lembaga negara dapat dibedakan menjadi lembaga politik dan lembaga karir. Lembaga politik adalah lembaga yang dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengelolaan negara adalah lembaga yang berurusan dengan kebijakan publik. Negara demokrasi membatasi lembaga politik hanya, dan hanya, pada dua lembaga yakni lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Sedangkan lembaga karir adalah lembaga non politik, bebas dan harus bebas, dari pengaruh politik. Dinamika, gejolak sampaipun kemelut politik yang terjadi di wilayah politik, tidak harus mempengaruhi kinerja lembaga karir.
[8] Istilah Lembaga negara meski tidak diberikan definisi tetapi secara eksplisit istilah ini dapat dilihat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
[9] Ellydar Chaidir, Op.Cit., h. 33
[10] Misalnya di Indonesia terdapat MPR yang bersifat khas Indonesia
[11] Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., h. 175-176.
[12] C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Cet. I, (terjemahan SPA Teamwork), Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, h. 10
[13] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 10-11.
[14] Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., h. 176.
[15] Ibid. H. 177
[16] Jika meminjam istilah di Jerman, maka ini disebut sebagai Constitutional Organ.
[17] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 336-338.
[18] Berdasar pendapat MK dalam putusannya tersebut maka dapat digunakan sebagai catatan tambahan terkait dengan diskusi perkuliah Hukum Konstitusi oleh Bpk. Radian Salman tanggal 13 Mei 2013, tentang apakah lembaga negara yang disebut dan diatur kewenangannya dalam konstitusi berakibat pada kedudukan tertentu lembaga negara secara hierarkhis. Meskipun pada kenyataannya tidak sesuai (seperti protokoler yang berbeda) namun penulis melihat bahwa niatannya berujung kepada kesederajatan secara fungsional yang sama-sama memiliki fungsi dan peranan penting dalam mewujudkan tujuan nasional tetapi berdasarkan porporsionalitasnya masing-masing.
[19] Titik Triwulan Tutik. Op.Cit., h. 178-180.
[20] Jimly Asshiddiqie., Konstitusi dan Konstitusinalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 309.
[21] Titik Triwulan Tutik. Loc.Cit., h. 180.
[22] Ibid, h. 183
[23] Ibid, h. 184.